Legenda Joko Tingkir: Pandangan Filsafat Jawa

Oleh: djisnozero45 *)


Legenda Joko Tingkir cukup terkenal di masyakat Jawa. Bahkan suatu daerah mengklaim bahwa legenda itu berasal dari daerahnya
(terutama di Tingkir Salatiga dan Kabupaten Sukoharjo, Surakarta).

Itu merupakan satu pertanda bahwa Joko Tingkir karakter dan perbuatannya adalah sebuah tauladan untuk masyarakat yang menokohkannya dan nilai-nilai yang terkandung sebagai panutan dalam kehidupan.

Legenda Joko Tingkir alur ceritanya, ia berangkat dari desa tempat tinggalnya menuju kerajaan Demak, untuk melamar sebagai prajurit kerajaan agar dapat bersatu dengan rajanya (latar belakang legenda itu pada masa kerajaan Demak ketika diperintah oleh Sultan Trenggono, 1521-1546 M).


Perjalanan Joko Tingkir dalam legenda itu banyak terdapat simbol-simbol filosofis Jawa (yang dipercayai saat itu; bahkan sampai sekarang).

Joko Tingkir melewati sungai/bengawan (air mengalir) adalah niat luhur mengawali jejibahan hidup untuk mencapai keluhuran, merupakan manifestasi dari nafsu Mutmainah (bersifat air, berwarna putih). Niat harus didukung dengan keinginan dan usaha maka Joko Tingkir menaiki rakit (Jawa: gethek) sebagai sarana perjalanannya yang penuh dengan resiko. Dalam hal itu Joko Tingkir melaksanakan nafsu Supiyah (bersifat angin; berwarna kuning).

Proses perjalanan Joko Tingkir menjumpai beberapa rintangan. Dalam perjalanan menyusuri aliran sungai Joko Tingkir di atas rakit dihadang oleh sekelompok buaya yang berjumlah empat puluh, sehingga lajunya rakit terhalang. Joko Tingkir dapat mengalahkan empat puluh buaya yang menghalangi, kemudian empat puluh buaya itu membantu laju jalannya rakitnya Joko Tingkir, memperlancar perjalanan.

Dalam pemahaman Jawa, (buaya; Jawa: baya – bebaya) bahwa, apabila seseorang mempunyai niat atau kehendak harus melaksanakan prihatin, berpuasa selama empat puluh hari, dan apabila berhasil melampui keprihatian, berpuasa (bebaya) akan mendapatkan berkah dari Gusti Allah.

Setelah dapat menaklukkan empat puluh buaya perjalanan Joko Tingkir berjalan dengan lancar sehingga berhasil melewati kedhung srengenge (kedhung: area dari sungai yang airnya dalam, srengenge: matahari). Perjalanan Joko Tingkir semakin lancar karena diterangi oleh sinar matahari, sinar kehidupan.

Setelah menyelesaikan perjalanan lewat sungai, sampailah Joko Tingkir di wilayah kerajaan Demak. Sesampainya di pintu gerbang kerajaan, Joko Tingkir dihadang dan dilarang memasuki kerajaan oleh salah satu pejabat kerajaan, Dhadhung Hawuk, yang berbadan tinggi besar dan berkulit hitam legam. (dhadhung: tali yang dipilin, hawuk: kejam, keras)

Kemudian terjadi perkelahaian antara Joko Tingkir dan Dhadhung Hawuk. Dhadhung Hawuk kalah dan tewas dengan sadak suruh (sadak: tusuk, suruh: sirih)

Dalam hal ini Joko Tingkir telah mampu mengendalikan nafsu Aluamah (bersifat tanah, berwarna hitam) adalah kesombongan dan kekejaman.
Menurut pemahaman Jawa, suruh/daun sirih, lumah kurepe beda nanging yen ginigit padha rasane (daun sirih dua permukaannya berbeda tapi kalau dikunyah rasanya sama).

Manusia kalau lahir dan batinnya sama, harmoni, akan mempunyai kekuatan yang luar biasa.

Atas keberhasilannya itu Joko Tingkir diterima sebagai komandan prajurit (lurah tamtama) di kerajaan Demak.

Joko Tingkir sudah mencapai sebagian besar keinginannya tapi belum sempurna.

Ketika berhasil menduduki satu jabatan Joko Tingkir masih tergoda oleh keadaan. Kesombongan atas kedudukannya ia merasa segala sesuatu akan dapat diraihnya. Joko Tingkir tergoda oleh kecantikan seorang wanita, putri dari rajanya, gemerlapnya duniawi. Kemudian Joko Tingkir menjalin hubungan cinta dengan putri rajanya. Atas perbuatannya itu ia mendapatkan hukuman sebagai konsekuensinya. Joko Tingkir diusir pergi dari kerajaan Demak.

Hukuman itu tidak membuat Joko Tingkir sedih dan putus asa. Kesadaran spiritualnya menyadarkan dirinya sebagai manusia titahe Gusti, masih belum mampu lepas dari kesalahan. Ia lalu pergi ke suatu tempat , berguru kepada seorang yang sudah limpad ing reh kabatinan (seorang yang sempurna dalam spiritual) di banyubiru (hamparan air yang luas dan sangat dalam apabila dilihat dengan cermat akan berwarna kebiruan = kedalaman spiritual)

Ia lebih meningkatkan kepasrahan dan pendalaman spiritual untuk mencapai sejati diri dan tujuan diri. Setelah dapat menyelesaikan proses peningkatan spiritualnya di banyubiru, Joko Tingkir kembali ke kerajaan Demak untuk melamar sebagai prajurit lagi. Kebetulan di kerajaan Demak sedang terjadi keributan yang dilakukan oleh seekor kerbau yang matanya merah menyala dan kedua telinganya disumpal oleh tanah liat.

Kerbau itu mengamuk, merusak segala bangunan di kerajaan sehingga keadaan kerajaan sangat kacau. Kemudian dengan ketenangan dan kesempurnaannya Joko Tingkir dapat menaklukkan dan membunuh kerbau itu dengan hantaman telapak tangan kanannya.

Manusia yang tidak mau melihat keadaan/lingkungan dan tidak mau mendengar nasihat serta pelajaran luhur, cenderung berbuat sesuka dirinya, akhirnya akan hancur oleh perbuatan dan tingkah lakunya sendiri.

Dalam hal ini Joko Tingkir telah mampu membunuh nafsu Amarah (bersifat api, berwarna merah). Ia telah berhasil mengendalikan kemarahan, keserakahan dan kesombongan diri.

Oleh keberhasilannya itu Joko Tingkir diterima kembali sebagai salah satu pejabat di kerajaan Demak. Bahkan diangkat sebagai pejabat tinggi sehingga berhasil bertemu dan bersatu dengan rajanya.

Joko Tingkir (kawula) pada hakekatnya, dengan segala perjuangaannya menjalankan tugas suci sebagai umat, berbekal ketulusan, kepasrahan, tata krama lingkungan, dengan proses yang terukur sesuai dengan keyakinannya, serta berbekal sarengat, akhirnya berhasil bersatu dengan rajanya (gusti).

Dengan tarekat ketika meninggalkan kerajaan menuju banyubiru dalam proses introspeksi ia melakukan takhanus (semadi) sebagai simbolisasi keilahian. Joko Tingkir telah mencapai spiritual steretion (pengalaman spiritual yang tinggi). Dan kesempurnaan atas pencapaian tataran makrifat, kemudian berhasil menyatu dengan gustinya, tujuan akhir dari perjalanan spiritualnya.perjalanan.

*) Penulis adalah budayawan, tinggal di Salatiga