(Salatiga tidak akan “Mati” karena Jalan Tol)
Oleh: Suryo Sakti Hadiwijoyo
Masih terekam dalam ingatan kita menjelang arus mudik lebaran tahun 2017 yang lalu, dimana Pintu Tol Salatiga menjadi viral di media sosial dan dunia maya sebagai Pintu Tol terindah.
Berbagai respon muncul terkiat dengan fenomena tersebut, mulai dari respon yang optimis dengan adanya Jalan Tol akan semakin membawa iklim positif bagi tata kelola Kota Salatiga, maupun respon yang bernada khawatir bahwa dengan adanya Jalan Tol akan berimplikasi “mematikan” Kota Salatiga.
Pembangunan Wilayah dan Transportasi
Salah satu tesis umum dalam perkembangan wilayah adalah hubungan antara transportasi dan perkembangan wilayah, dimana semakin baik kondisi transportasi wilayah akan mempercepat tingkat interaksi dan kemajuan wilayah. Essensi transportasi adalah keterhubungan, akses, dan konektivitas antar wilayah. Dalam pembangunan suatu wilayah terdapat salah satu kata kunci yang menjadi daya ungkit bagi tumbuh dan berkembangnya suatu wilayah, yaitu “inter-region” atau yang atau tingkat keterhubungan/keterkaitan wilayah dengan wilayah lain, dimana salah satu intrumen pentingnya adalah ketersediaan akses jalan (transportasi darat).
Tesis ini yang memberikan energi luar biasa bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan program pembangunan infrastruktur transportasi (darat, laut, udara) dengan sungguh-sungguh dan besar-besaran, termasuk target penyelesaiaan Tol Trans Jawa, yang diantaranya melewati Kota Salatiga.
Tapi mengapa muncul kekhawatiran bahwa dengan keberadaan tol tersebut akan mematikan Kota Salatiga?? Sekali lagi merujuk pada awal tulisan ini, semua respon berkaitan dengan keberadaan jalan Tol Salatiga pada hakekatnya merupakan bentuk kepedulian terhadap pembangunan Kota Salatiga, termasuk bagi sebagian pihak yang mengkhawatirkan dengan adanya tol, tersebut, akan mematikan Kota Salatiga. Kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya benar, meskipun secara riil pembangunan tol tersebut mempunyai dampak langsung terhadap penurunan pendapatan masyarakat. Setiap aktivitas pembangunan pasti menimbulkan dampak positif dan maupun negatif, bahkan pembangunan tol tidak hanya menyebabkan penurunan pendapatan pedagang, namun juga telah mengkonversi ribuan hektar sawah dan penurunan produksi beras dan pangan, serta memotong hubungan sosial ekonomi masyarakat yang dipisahkan jalan tol. Perubahan alur jalan dari jalan arteri dan kolektor ke jalan tol juga mengakibatkan menurunnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat di sekitar jalan.
Begitulah sisi Pembangunan, selalu menimbulkan pro-kontra dan diuntungkan-dirugikan. Ada perspektif tujuan pembangunan yang harus dimengerti oleh semua pihak, yaitu hirarki cara pandang dan tujuan pembangunan. Dalam kasus pembangunan Jalan Tol, terdapat perbedaan perspektif Nasional, Trans Nasional dengan perspektif lokal (Lutfi Muta’ali, 2017). Dalam pandangan nasional, pembangunan jalan tol akan memberikan dampak makro dan efesienti tinggi serta pertumbuhan ekonomi dan perekonomian masyarakat yang cepat. Namun, dalam pandangan lokal, berdampak langsung pada penurunan pendapatan masyarakat dan disintegrasi sosial, serta “matinya” kota. Oleh karena itu, sangat penting untuk menegosiasikan dan mengkompromikan dua pandangan yang berbeda, sehingga dapat diperoleh hasil yang membahagiakan masyarakat.
Perlu diketahui tentang sistem klasifikasi jalan di Indonesia, diantaranya berdasarkan aspek fungsional, ada Jalan Arteri, Jalan Kolektor, Jalan local dan jalan lingkungan. Sebagai contoh, jalan Pantura merupakan jalan arteri dengan ciri utama jalan untuk perjalanan jarak jauh (antar Provinsi), dengan seting kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk (akses) dibatasi. Jalan arteri umumnya adalah jalan nasional yang menghubungkan antar ibukota Provinsi dan jalan strategis nasional serta jalan tol. Terkait dengan geometrid an beban jalan, jalan arteri juga masuk Kelas I dan II, yang memang diperuntukkan bagi kendaraan-kendaraan besar baik bentuk maupun tonasenya.
Pada wilayah yang dilalui jalan arteri, sebenarnya di kanan-kiri jalan tidak diperuntukkan untuk kegiatan sosial ekonomi yang berskala kecil, karena akan mengganggu sistem perjalanan (Macet), seperti banyaknya pasar-pasar tradisional yang berada disekitar jalan yang menyebabkan penyempitan jalan dan kemacetan. Terlebih Jalan Tol, yang memang diseting khusus untuk kendaraan bersumbu lebih dari dua (mobil, bus, truk) dan bertujuan untuk mepersingkat jarak dan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, disekitar jalan tol harus bebas dari aktivitas sosial ekonomi masyarakat dan sangat dibatasi pintu masuk tol (akses), termasuk kendaraan roda dua dilarang masuk. Tidak hanya kesesuaian jalan dan kendaraan, tapi idealnya juga ada kesesuaian tipe jalan dan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Jika terjadi ketidaksesuaian, maka risikonya adalah kemacetan dan keselamatan jiwa pemakai jalan.
Sudah menjadi pemahaman umum di masyarakat, untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi di pinggir jalan. Tepi jalan adalah area paling menarik sekaligus mahal, baik untuk perumahan, perdagangan, perkantoran dan lain sebagainya. Namun, berdasarkan penjelasan di atas, setiap tipe pembangunan jalan (berdasarkan klasifikasinya) akan memberikan dampak lingkungan masyarakat yang berbeda. Pembangunan jalan arteri termasuk jalan tol memang tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan kegiatan sosial ekonomi ditingkat usaha rumah tangga. Sebaliknya pembangunan jalan lokal dan jalan lingkungan dapat digunakan untuk menumbulkan kegiatan ekonomi lokal. Risiko dampak pembangunan jalan tol trans Jawa seharusnya sudah terprediksikan lebih awal (sebagaimana tercantum dalam AMDAL), namun banyak Pemerintah Daerah yang terlambat mengantisipasinya, termasuk pengelola Jalan tol yang terlihat seperti tidak peduli dan menyerahkannya pada Pemerintah Daerah dan masyarakat (Lutfi Muta’ali, 2017).
Kejadian ini menjadi pembelajaran yang baik bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah serta Pemerintah Pusat. Bagi masyarakat, pendidikan keruangan (lokasi geografis) dan prediksi dampak lingkungan penting untukdimengerti sehingga mampu mengantisipasi dan mengambil keputusan tepat bagi keberlangsunganbisnis dan hidupnya, serta meminimalkan kerugian atau sebaliknya mampu mengambil sisi positifnya. Bagi Pemerintah Daerah, seharusnya telah mampu mengantisipasi peluang positif maupun dampak negatifnya, sehingga tidak “linglung” saat masyarakat telah bereaksi. Bagi Pemerintah pusat termasuk pengelola jalan tol, harus mampu merumuskan langkah-langkah antisipatif sehingga dapat diperoleh “win-win solution”, karena ujung proses pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat.
Inovasi ….menciptakan daya tarik kota.
Merujuk pada hal tersebut, sejatinya perkembangan sebuah kota sangat tergantung pada peran berbagai pihak, tidak hanya pemerintah (termasuk pemerintah daerah) akan tetapi juga melibatan peran private sector maupun civil society (dengan berbagai bentuk dan komunitas yang ada di dalamnya). Kekhawatiran terhadap “mati”-nya Kota Salatiga dengan adanya Jalan Tol dapat diantisipasi dengan mengembangkan inovasi.
Manajemen perkotaan bersifat sangat dinamis. Hal tersebut mengingat kompleknya permasalahan dalam pembangunan perkotaan. Terkait dengan manajemen perkotaan, maka diskusi tentang Manajemen Perubahan dan Inovasi menjadi sangat relevan untuk dikaji dan dianalisis. Pengertian inovasi dalam sektor publik dan birokrasi adalah mengadakan perubahan atau redefinisi tugas pokok (core task) dan perubahan budaya kerja pada birokrasi pemerintahan, sedang inovasi organisasi publik sebagai bagian dari inovasi manajemen sektor publik yang dapat didefinisikan sebagai pengembangan desain kebijakan dan Standart Operational Procedure baru oleh Pemerintah Kota untuk mengatasi berbagai persoalan berkaitan dengan implementasi kebijakan publik.
Inovasi dalam tata kelola pembangunan kota antara lain dilakukan dengan menciptakan daya tarik kota melalui penataan wajah kota yang komprehensif dengan memanfaatkan karaketristik atau keunikan kota. Penataan Wajah Kota dilakukan dengan memertimbangkan pada idnetitas kota atau keunikan/karakteristik kota. Kota sebagai suatu lingkungan fisik memiliki berbagai aspek yang dapat mengangkat, mengembangkan dan mencirikan kota itu sendiri, seperti nilai historis dan aspek-aspek yang bersifat faktual lainnya yang membuahkan suatu identitas bagi kota. Identitas kota memang harus merupakan sesuatu yang spesifik, yang dapat membedakan satu kota dengan kota lainnya. Dalam hal ini masing-masing lingkungan (kota) tentu memiliki identitas, sesuatu yang melahirkan karakter (ciri khas) yang membedakan dengan kota lainnya. Suatu kota seharusnya memiliki sesuatu yang khas dan orisinil yang nantinya akan membentuk identitas kotanya.
Dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa identitas adalah suatu kondisi saat seseorang mampu mengenali atau memanggil kembali (ingatan) suatu tempat yang memiliki perbedaan dengan tempat yang lain karena memiliki karakter dan keunikan. Identitas adalah hal mendasar yang sangat penting. Hal ini dikarenakan identitas adalah sesuatu yang digunakan untuk mengenali, membedakan suatu tempat dengan tempat lainnya.
Identitas kota dapat berbentuk fisik dan non fisik (Suwarno, 1989). Kemampuan menangkap identitas kota sangat subyektif, tergantung si pengamat, yang menarik secara visual/ imageable (jelas, terbaca, atau terlihat) dan mudah diingat serta memiliki keunikan untuk dijadikan sebagai identitas kawasan. Identitas kota yang berwujud fisik adalah segala sesuatu yang bersifat fisik yang bisa dijadikan pengidentifikasi kawasan tersebut. Identitas fisik yang mudah ditangkap oleh pengamat adalah suatu objek yang dijadikan acuan (point of reference) terhadap kawasannya. Bangunan yang bersifat besar, mudah dilihat dan monumental biasanya dijadikan pengamat sebagai acuan (landmark).
Secara tidak langsung hal ini menjadikannya menjadi objek yang mudah diingat yang mencirikan kawasannya, dengan kata lain bangunan tersebut menjadi identitas kawasannya. Tidak hanya itu, hal lain yang bersifat fisik lainnya seperti halte, jalan, furnitur kota, trotoar, jembatan dan banyak hal lainnya juga bisa menjadi identitas kota secara fisik. Sedangkan identitas kota yang bersifat non-fisik merupakan identitas kota yang dibuat olehperilaku warga kotanya.
Membangun Citra Positif…. Salatiga tidak akan “mati”
Membangun masa depan kota tidak hanya berkaitan dengan membangun keramaian pusat pusat perbelanjaan dan kepadatan serta hilir mudik manusia, namun juga membangun manusia, mentalitas dan kepribadiannya sehingga kota tidak diisi oleh orang-orang yang justru ter-alienasi dari lingkungannya.
Dalam konteks Kota Salatiga, terutama menyikapi adanya Jalan Tol, maka inovasi yang berbasis pada keunikan kota Salatiga menjadi salah satu kunci. Terdapat langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain dengan memperkuat keunikan dan membangun branding kota.
Mengembangkan Salatiga sebagai Kota Wisata adalah salah satu diantaranya, mengapa? Salatiga mempunyai potensi wisata, terutama berkaitan dengan wisata kuliner dan budaya yang terintegrasi. Langkah nyata yang dilakukan dengan Promosi Salatiga Event Agenda Tahunan melalui berbagai media. Salatiga Event Agenda tersebut memuat agenda tahunan yang rutin dilakukan oleh Kota Salatiga dan komunitas yang ada di dalamnya, seperti Tradisi Sadranan, Festival Budaya/Karnaval Budaya di UKSW, maupun aktifitas Komunitas Budaya/komunitas lokal di Salatiga. Hal ini sejalan pula dengan salah satu identitas Kota Salatiga sebagai Kota Toleran pada tahun 2015 (Setara Institute, 2015). Melalui event agenda tersebut, dapat dilakukan pula promosi yang menguatkan keberadaan UKM dan Pelaku Usaha Ekonomi Lokal yang menjadi karakteristik di Salatiga.
Selain itu, Pembentukan Kampung Tematik di masing-masing Kelurahan yang disesuaikan dengan keunikan yang ada, misalnya Kampung Ramah Anak, Kampung Ramah Lansia, Kampung Hidroponik, Kampung Pro Klim/Kampung Hijau, Kampung Bersahabat dengan Sampah dan lain sebagainya. Munculnya kampung tematik yang juga harus didukung dengan media promosi yang akan menjadi daya tarik wisata.
Dalam aspek perekonomian, sejatinya pembuatan jalan tol dapat merubah dinamika perekonomian regional suatu wilayah, baik investor besar, investor sedang atau bahkan UKM, karena prilaku pengguna jalan yang berpindah mencari jalan alternatif bebas hambatan. Terkait dengan hal tersebut, maka pembangunan rest area yang dilengkapai dengan pusat UKM dan informasi tentang Keunikan Salatiga merupakan salah satu alternatif mendorong pelintas jalan untuk sejenak menengok ke dalam Kota Salatiga.
Selanjutnya dalam membangun Citra Positif Kota Salatiga tidak hanya berkaitan dengan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial, akan tetapi sebagaimana 4 Pilar SDGs, maka upaya membangun citra positif seyogyanya juga memperhatikan pula aspek governance (tata kelola birokrasi). Hal tersebut akan tercermin dalam kemudahan penyelenggaraan pelayanan publik serta pelayanan publik yang berkualitas. Terkait dengan hal tersebut maka aspek mental dan integritas aparatur serta inovasi aparatur yang menjadi prioritas pembenahan dan peningkatan, sehingga akan berdampak pula pada meningkatnya integritas dan inovasi Kota Salatiga, dan diharapkan pula akan dapat mendorong daya saing daerah.
Variabel terakhir yang seringkali terlupakan dalam membangun citra positif kota adalah hubungan masyarakat (humas). Sebuah kota bisa jadi memiliki kualitas yang ideal. Tetapi, tanpa adanya aktivitas kehumasan, kualitas tersebut tidak akan diketahui khalayak sehingga tidak akan bermanfaat secara optimal. Oleh karena itu, seiring dengan penataan wajah/citra kota serta membangun identitasnya, humas harus menjalankan perannya dengan sangat baik. Humas harus mampu mengembangkan komunikasi dengan lingkungan internal maupun eksternal. Humas juga harus memperkuat dan memadukan komunikasi antar satuan kerja sehingga pelaksanaan program pembangunan dapat terintegrasi. Peran humas yang optimal akan membangun citra positif kota.
Pemerintah Kota Salatiga memang bertanggung jawab, tapi bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam membangun citra positif kota. Membangun Citra Positif Kota tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah daerah karena merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Kota, Civil Society, Sektor Swasta, serta seluruh komponen yang ada. Kepedulian seluruh pihak terhadap kemajuan Kota Salatiga dapat diwujudkan dalam banyak aksi, termasuk di dalamnya adalah kritik. Namun, perlu diingat bahwa kritik saja tidak cukup, harus ada solusi yang bersifat membangun. Jadi, sudahkah kita peduli terhadap wajah dan citra positif Kota Salatiga tercinta ini?(ss)
*) Penulis adalah Pegawai ASN di Pemerintah Kota Salatiga.